Ken Arok yang memerintahkan Singasari
depalan abad lampau bergelar Sri Radjasa Bhantara sang Amurwabhumi itu
bertandang di kraton Kasultanan Yogyakarta. Saat itu gending
mendayu-dayu di pendapa ndalem Wironegaran di suatu malam yang anggun.
Dan sang Amurwabhumi larut di sana, selama tiga puluh menit yang
mempesona.
Begitulah kraton Yogyakarta membuka diri.
Betapa sang Amurwabhumi hanya karya tari bedhaya, tapi kraton
Kasultanan Ngayogyakarta yang terawat baik hingga di jaman kontemporer
sekarang ini, tak menutup diri pada sejarah bangsanya, betapapun
pahitnya dia. Tari Bedhaya Sang Amurwabhumi itu diciptakan oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono X setahun setelah dinobatkan menjadi raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Karya seni tari yang dicukil dari serat
Pararaton itu mengkisahkan pergulatan asmara serta kepemimpinan yang
dipersembahkan Sultan HB X untuk mengenang ayahanda, Sri Sultan HB IX.
Pergelaran tari itu memperlihatkan gerak dan penataan koreografis tanpa
cacat dalam menggambarkan kisah Ken Arok dan sang Pradnya Paramitha Ken
Dedes di sebuah masa yang berbunga dan padat politik kerajaan itu.
Menari memang tak hanya sekedar menghafal gerak. Menari adalah efek ekspresi jiwa, sehingga dengan begitu seluruh tubuh jumbuh, menyatu dalam sebuah kesatuan gerak. Gerakan tubuh bukan sekedar interprestasi dari fisik semata-mata, tapi juga batin. Roso. Perasaan.
Memang ada sebuah motif di sana.
Pemerintahan Sang Amurwabhumi agaknya mengusahakan harmoni antara
kepercayaan Hindu dan Budha. Di kraton Yogyakarta ada ketentraman budaya
yang selalu diupayakan agar ia terawat baik, bagi kehidupan juga bagi
bangsanya.
Referensi: Exploring Jogja. Volume 01/IV/April2009